Bayangkan tempat dengan laut sebening kaca, gugusan pulau karst yang megah, dan keanekaragaman hayati laut yang mengalahkan banyak kawasan dunia. Itulah Raja Ampat. Kawasan di ujung barat Papua ini tak hanya indah, tapi juga penuh cerita dari kejayaan ekowisata hingga kisah tambang yang izinnya ternyata berasal dari era kolonial. Ya, izin tambang sejak tahun 1972 kini jadi momok di balik keindahannya. “PT GAG Nikel itu sejarahnya dari tahun 1972 eksplorasi. Kemudian, penandatangan Kontrak Karya-nya itu tahun 1998,” kata Bahlil dalam konferensi pers terkait pencabutan empat IUP Raja Ampat di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 10 Juni 2025.
Raja Ampat, Permata Lautan dari Timur Indonesia

Empat pulau utama Waigeo, Misool, Salawati, dan Batanta menjadi pusat keindahan Raja Ampat. Dikelilingi lebih dari 1.500 pulau kecil, kawasan ini disebut-sebut sebagai jantungnya segitiga karang dunia (Coral Triangle). Tak heran, penyelam dari seluruh dunia rela datang jauh-jauh ke sini hanya untuk menyelam di Cape Kri, Manta Sandy, atau Blue Magic.
Di darat, pemandangan tak kalah memukau. Cobalah naik ke Piaynemo dan lihatlah gugusan pulau berbentuk bintang yang fotonya sering viral. Selain alam, kekayaan budaya lokal juga kuat terasa. Masyarakat adat masih memegang teguh adat istiadat, termasuk larangan menangkap ikan di wilayah “sasi” kawasan suci yang hanya boleh diakses di waktu tertentu.
Raja Ampat bukan hanya tentang pemandangan, tapi juga tentang kehidupan yang seimbang antara manusia dan alam.
Ancaman Lama yang Kembali Muncul

Di balik semua keindahan itu, ada satu ancaman yang akhir-akhir ini jadi pembahasan hangat: tambang. Uniknya, ini bukan izin tambang baru. Beberapa di antaranya adalah warisan lama, bahkan ada yang ditelusuri berasal dari masa penjajahan Belanda di awal 1900-an.
Kala itu, pemerintah kolonial Hindia Belanda membuka peluang eksplorasi mineral seperti nikel dan emas di wilayah Papua, termasuk kawasan sekitar Raja Ampat. Setelah Indonesia merdeka, sebagian dari izin itu diwariskan atau dialihkan ke perusahaan baru.
Beberapa tahun terakhir, isu ini kembali mencuat. Salah satu yang paling menonjol adalah rencana penambangan di Pulau Kawe dan Waigeo. Wilayah ini dekat dengan titik selam dan konservasi. Masyarakat lokal langsung bergerak. Mereka menolak rencana tersebut karena tahu betul, sekali rusak, laut dan tanah mereka tak akan pernah kembali seperti semula.
Wisata Jadi Harapan Baru
Beruntungnya, Raja Ampat kini sudah dikenal sebagai destinasi ekowisata kelas dunia. Banyak homestay yang dibangun oleh warga setempat. Mereka tidak sekadar menyediakan tempat tidur, tapi juga pengalaman budaya yang otentik. Misalnya, kamu bisa ikut memancing tradisional, menari bersama warga kampung, atau belajar membuat kerajinan khas Papua.
Resort-resort besar seperti Misool Eco Resort juga punya prinsip ketat soal keberlanjutan: nol plastik, limbah terolah, dan seluruh staf adalah warga lokal. Dengan pendekatan seperti ini, wisata menjadi cara baru bagi warga untuk mendapatkan penghasilan tanpa harus mengorbankan alam.
Diving, snorkeling, birdwatching, hingga sekadar menikmati senja di dermaga Waisai semuanya menyuguhkan pengalaman yang tak bisa dibandingkan dengan tempat lain.
Akses dan Tantangan
Untuk sampai ke Raja Ampat, kamu bisa terbang ke Sorong, Papua Barat Daya. Dari Bandara DEO, lanjut naik kapal cepat menuju Waisai. Di sinilah kamu bisa mulai menjelajah pulau-pulau di sekitarnya.
Meski makin populer, Raja Ampat masih punya tantangan besar: sampah plastik dari wisatawan, tekanan pada ekosistem akibat over kapasitas, dan sekarang, ancaman tambang yang bisa merusak segalanya. Edukasi untuk wisatawan dan pengawasan dari pemerintah mutlak diperlukan.
Kesimpulan
Raja Ampat adalah warisan dunia yang harus dijaga bersama. Keindahannya luar biasa, tapi ancaman tambang yang telah berusia lebih dari satu abad menjadi bayang-bayang serius. Apalagi jika izin-izin itu diaktifkan kembali oleh pihak tak bertanggung jawab.
Melalui ekowisata dan peran aktif masyarakat adat, Raja Ampat telah menunjukkan bahwa ada cara lain untuk membangun tanpa menghancurkan. Tapi mereka tidak bisa berjuang sendiri. Kita semua bisa ambil bagian sebagai wisatawan yang peduli, sebagai warga yang bersuara, atau sebagai generasi yang ingin melihat Raja Ampat tetap ada 100 tahun ke depan.
Kalau bukan sekarang kita menjaga, kapan lagi? Dan kalau bukan kita, siapa
