Kalau ngomongin sejarah Indonesia, biasanya yang kebayang itu Proklamasi 1945, perjuangan para pahlawan, sampai perebutan kedaulatan. Tapi di sela-sela perjalanan itu, ada satu periode kelam yang sering luput dari obrolan sehari-hari yaitu masa bersiap.
Nah, masa bersiap ini terjadi sekitar tahun 1945–1946, pasca proklamasi. Euforia kemerdekaan masih panas, semangat revolusi lagi meletup-letup, tapi di sisi lain suasana justru penuh kekacauan. Bayangin aja, rakyat baru saja bebas dari belenggu Jepang, Belanda pengen balik lagi lewat NICA, dan kelompok-kelompok bersenjata rakyat muncul di mana-mana. Situasi kayak gini bikin masa bersiap sering di gambarkan sebagai masa “liar” dalam sejarah.
Baca artikel lainya di sinte.
Kenapa Disebut Masa Bersiap?

Istilah “bersiap” sebenarnya muncul dari seruan rakyat waktu itu. Mereka di minta siap siaga menghadapi ancaman kembalinya Belanda dan sekutunya. Jadi, semacam panggilan darurat, ayo kita siap bertempur demi mempertahankan kemerdekaan!
Tapi, kenyataannya nggak seindah slogan. Karena belum ada sistem keamanan negara yang rapi, banyak kelompok rakyat bergerak sendiri-sendiri. Ada yang bener-bener berjuang melawan Belanda, ada juga yang kebablasan sampai melakukan aksi kekerasan terhadap orang-orang Belanda, Indo-Eropa, bahkan kelompok pribumi yang di anggap dekat dengan kolonial.
Makanya masa bersiap ini sering disebut penuh darah. Banyak korban jatuh, bukan cuma tentara lawan, tapi juga warga sipil.
Perspektif yang Bikin Debat Panjang

Nah, menariknya, masa bersiap ini jadi perdebatan panjang sampai hari ini.
Dari sisi Belanda, masa bersiap sering di gambarkan sebagai periode kekerasan biadab rakyat Indonesia terhadap orang-orang Belanda dan Indo. Kesannya, Indonesia baru merdeka tapi langsung “balas dendam” dengan brutal.
Sementara dari sisi Indonesia, banyak yang melihatnya beda. Mereka bilang, kekacauan itu wajar karena situasi revolusi nggak terkontrol. Lagi pula, siapa sih yang mulai? Belanda yang nggak mau terima kemerdekaan, malah balik lagi dengan NICA, bikin rakyat panas.
Jadi kalau ditanya siapa yang salah, jawabannya nggak bisa hitam putih. Ada faktor dendam sejarah, ada faktor emosi revolusi, ada juga faktor provokasi politik.
Luka yang Nggak Selesai
Masa bersiap ini bikin luka panjang, terutama buat keluarga Indo-Eropa yang jadi korban. Banyak dari mereka kemudian memilih meninggalkan Indonesia dan balik ke Belanda.
Di sisi lain, buat rakyat Indonesia, masa bersiap di anggap bagian dari konsekuensi revolusi. Kita memang bayar harga mahal untuk mempertahankan kemerdekaan.
Yang bikin ribet, sampai sekarang isu masa bersiap kadang di pakai untuk mendiskreditkan Indonesia. Ada yang bilang kita terlalu liar, ada juga yang menganggap itu sekadar narasi Belanda buat menutupi kolonialisme mereka yang brutal.
Kenapa Penting Dibahas Lagi?
Kalau dipikir-pikir, masa bersiap ini kayak cermin betapa revolusi itu nggak pernah steril. Ada heroisme, tapi juga ada kekerasan yang susah dihindari. Justru dengan membicarakan masa bersiap, kita bisa lebih jujur dalam melihat sejarah.
Generasi sekarang perlu tahu bahwa kemerdekaan nggak jatuh dari langit. Ada harga yang di bayar mahal, termasuk kesalahan dan tragedi. Dengan begitu, kita nggak gampang terjebak narasi sepihak, entah itu yang terlalu menyalahkan Indonesia, atau yang menutup rapat sisi kelamnya.
Selain itu, memahami masa bersiap juga bikin kita lebih peka dalam menghadapi isu kekerasan hari ini. Kalau dulu dendam dan amarah bisa bikin orang buta arah, sekarang kita bisa belajar menyalurkannya lewat cara yang lebih dewasa.
Jadi, Harusnya Kita Gimana?
Menurutku sih, masa bersiap itu harus di pahami apa adanya sebagai bagian dari sejarah yang kompleks. Jangan di tutup-tutupi, tapi juga jangan cuma di lihat dari kacamata satu pihak.
Kita perlu sadar, revolusi memang nggak pernah rapi. Selalu ada korban, ada kekacauan, dan ada cerita pahit. Tapi dari situ juga kita belajar, bahwa kemerdekaan itu nggak gratis. Ada darah, ada air mata, dan ada keputusan-keputusan sulit yang harus di ambil.
Yang paling penting, jangan sampai masa lalu ini di pakai buat memecah belah. Lebih baik di jadikan pelajaran supaya kita lebih dewasa menghadapi perbedaan, lebih bijak melihat sejarah, dan lebih berani mengakui sisi gelap perjuangan kita.
Karena pada akhirnya, masa bersiap adalah cermin betapa rapuh tapi juga betapa kuatnya bangsa ini waktu mempertahankan kemerdekaan.
Jadi sekarang jangan cuman ngeliat 1 pihak oke?
